Ketapang, Kalimantan Barat – Ledaknews.com. Praktik jual beli lahan di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) di Desa Tanjung Baik Budi, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, memicu kegemparan di tengah masyarakat. Ratusan hektare lahan hutan diduga diperjualbelikan secara ilegal oleh sekelompok warga yang menamakan diri “Tim Delapan,” demi keuntungan pribadi tanpa mempedulikan dampak lingkungan dan hukum.
Pembukaan lahan secara besar-besaran menggunakan alat berat excavator, yang bertujuan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, telah menjadi sorotan utama warga Dusun Satu, Desa Tanjung Baik Budi. Aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memicu potensi konflik sosial di tengah masyarakat setempat.
Pengakuan Pengusaha dan Dalih “Tim Delapan
Burhan, seorang pengusaha kebun asal Desa Kalinilam, Kecamatan Delta Pawan, mengaku tidak mengetahui bahwa lahan yang ia garap sejak tahun 2023 itu berada di kawasan terlarang. Ia mengaku membeli lahan tersebut dari seorang bernama Diwan, yang memperolehnya dari warga setempat seperti Godang, Sanol, dan Bujang Periang yang disebut-sebut sebagai bagian dari “Tim Delapan.”
“Saya mulai menggarap sejak tahun 2023, dibeli dari kawan bernama Diwan orang Kalinilam. Diwan dapat lahan asalnya dari orang setempat seperti Godang, Sanol dan Bujang Periang. Katanya sih dari Tim Delapan,” tutur Burhan.
Salah satu anggota “Tim Delapan,” Jainal alias Sanol, berdalih bahwa mereka berani menggarap lahan atas dasar mengikuti pejabat, termasuk Wakil Bupati Ketapang. Sanol mengklaim bahwa Hutan HPK adalah “hak masyarakat” yang boleh digarap.
“Setahu saya hutan yang dikuasai negara itu adalah hutan HP, ini adalah hutan HPK artinya Hak masyarakat. Ini saja punya Haji Marmin ada sekitar 20 hektare masuk HPK, dan punya pak Wakil Bupati Jamhuri ada 80 hektare di dusun empat. Kalau Bupati saja boleh kenapa masyarakat tidak boleh,” ujar Sanol.
Penyangkalan Pejabat dan Tindakan KPH
Kepala Desa Tanjung Baik Budi, Suhaidah, S.I.P., membantah mengetahui adanya aktivitas penggarapan lahan di kawasan tersebut. Ia juga menepis klaim kepemilikan lahan Wakil Bupati di dalam kawasan hutan.
“Saya tidak tahu, bukan saya tak mau ambil tahu tapi saya benar tidak tahu,” tegas Suhaidah.
Wakil Bupati Jamhuri melalui sambungan telepon menyatakan bahwa kebun miliknya berada di Lahan APL (Areal Penggunaan Lain) dan luasnya tidak mencapai 80 hektare. Ia mempersilakan pihak terkait untuk melakukan pengecekan langsung di lapangan.
Menanggapi persoalan ini, Marthen Dadiara, petugas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), menegaskan bahwa penggarapan kawasan hutan tanpa izin adalah perbuatan melawan hukum dan dapat dipidanakan.
“Hari ini tugas kami adalah menghentikan kegiatan dan memerintahkan agar alat berat segera dikeluarkan. Lahan yang mereka garap ini adalah dalam kawasan HPK yang terdiri dari lahan Gambut Lindung, kawasan ini dilarang oleh pemerintah untuk digarap,” terang Marthin.
Peran PT HKD dan Harapan Masyarakat
PT HKD, perusahaan yang bergerak di bidang ekosistem, menyatakan bahwa kawasan hutan tidak boleh ditanami sawit. Bagas Suharjo dari PT HKD menjelaskan bahwa izin prinsip yang dikantongi oleh PT HKD meliputi wilayah dari Kuala Tolak hingga Sungai Awan Kiri, dengan tujuan melindungi kawasan Gambut Lindung.
Masyarakat setempat berharap kegiatan penggarapan ilegal segera dihentikan dan pemerintah mengambil tindakan tegas. Mereka mengancam akan melakukan hal yang sama jika ada pihak lain yang diperbolehkan mengelola lahan tersebut.
“Jika ini tidak dihentikan dan ditindak, maka kami selaku masyarakat setempat akan bertindak, jika mereka boleh maka kami juga akan melakukan hal yang sama. Masa mereka yang dari luar saja boleh kenapa kami orang tempatan jadi penonton?” pungkas perwakilan warga.
Kini, warga menanti tindakan konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini dan mencegah konflik sosial yang lebih besar di tengah masyarakat. Pemerintah diharapkan segera bertindak untuk menegakkan hukum dan menjaga kelestarian lingkungan di Kabupaten Ketapang.
Yan/Tim PWK