Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Di Sandai Lamban, Tokoh Senior Pemerhati Perempuan dan Anak, Ketua DPD ALPPIND Ketapang & Kuasa Hukum Korban Buka Suara

Ledaknews.com-Ketapang, KalBar. Hj. Hartati Syamli, selaku tokoh senior pemerhati perempuan dan anak menilai proses penanganan kasus kekerasan seksual terhadap S (14 th) di Sandai lamban. Memang prosesnya memerlukan waktu, namun bukan berarti senyap. Kemana peran instansi terkait dan lembaga yang kompeten?. Kemudian beliau meminta penanganan kasus ini mendapat atensi yang komprehensip terutama KPPAD Ketapang dan instansi terkait, atensi KPAD Kalimantan Barat juga diperlukan untuk memantau kasus ini.

Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak dan Perda No. 5 Tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan Dari Kekerasan harusnya menjadi rujukan dalam penangangan korban ini. Walaupun selama ini telah dilakukan pendampingan oleh KPPAD tapi bukan berarti instansi terkait yang menangani bidang ini bisa lepas tangan, karena hak-hak korban terutama pendampingan hukum tidak dilakukan sedini mungkin sehingga proses hukum sesuai koridor hukum dan tidak bias jender.

Hak-hak korban yang berkaitan dengan rehabilitasi dan reintergrasi sosial juga disinyalir belum diinisiasi untuk dilakukan, karena dari pantauan beliau, yang dilakukan melalui komunikasi dengan korban, sampai saat ini korban belum bisa bersosialisasi keluar rumah. Korban masih berharap dan memerlukan bantuan layanan pendampingan untuk memperoleh pendidikan selanjutnya karena korban masih ingin sekolah untuk masa depannya dan bangkit dari keterpurukan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.

Perlu sinergi antara pemerintah daerah, peran masyarakat dan keluarga dalam penanganan kasus ini. Jadi pemerintah perlu mendorong peran masyarakat dan tidak menangani sendiri kasus ini dan membuka ruang seluas-luasnya kepada berbagai pihak untuk memberikan yang terbaik bagi korban.

“Saya berharap penegak hukum dapat mengungkap kasus ini dengan memperhatikan keadilan bagi korban. Kemudian untuk kejadian pelecahan yang terjadi di kantor Pol PP terhadap siswa magang, mohon instansi terkait menangani kasus ini dan memberikan informasi kepada publik bahwa kasus ini ditangani dengan berpihak kepada korban”. tutup Hj. Hartati

Sementara itu, Ketua DPD ALPPIND Kabupaten Ketapang yang sejak kasus ini mencuat telah mengambil langkah pendampingan hukum dengan bekerja sama dengan LBH Kapuas Raya Indonesia mengatakan bahwa penangan kasus ini seperti mengulur waktu dan berusaha untuk memberikan ruang pelaku melenggang bebas.

“Jika menilik dari surat pernyataan bermaterai oleh pelaku tanggal 16 Oktober 2025 sudah sangat kuat bukti bahwa pelaku telah mengakui perbuatannya. Lantas kenapa hingga saat ini masih harus menunggu hasil tes DNA lagi untuk menjerat pelaku?. Dan laporan yang disampaikan oleh keluarga korban juga sangat jelas, yakni kasus kekerasan seksual, bukan menginginkan pengakuan terhadap anak yang telah dilahirkan oleh korban. Jadi..walaupun hasil tes DNA menyatakan itu adalah anak pelaku, sudah tidak ada gunanya lagi, karena anak itu lahir diluar pernikahan….secara agama…tidak ada sangkut paut dengan pelaku. Jika hukum tidak jeli dan tidak berpihak pada keadilan, maka akan banyak kasus serupa yang merenggut masa depan anak-anak.” Tutur Sri Wahyuni, S.Sos.I.

Ketua DPD ALPPIND Ketapang juga menyampaikan pesan kepada pemerintah Desa Istana agar memperhatikan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat tidak mampu. Yang terjadi pada korban “S” adalah karena orang tua korban hidup miskin, dan tidak punya WC sehingga harus menumpang di rumah pelaku, sehingga membuka peluang terjadinya kekerasan seksual tersebut.

Kuasa Hukum Korban dari Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia Ketapang, Iga Pebrian Pratama, S.H., CPM., CPLi., CPArb., menegaskan bahwa dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak, aparat penegak hukum seharusnya tidak terjebak pada pendekatan hukum yang semata-mata prosedural dan formalistik. Menurutnya, hukum progresif menempatkan korban—terlebih korban anak—sebagai subjek utama yang harus dilindungi, bukan sekadar objek pembuktian yang terus-menerus diposisikan menunggu.

Ia menyampaikan bahwa pengakuan pelaku yang dituangkan dalam surat pernyataan bermaterai, ditambah keterangan korban dan fakta-fakta yang terungkap, telah memenuhi unsur awal yang cukup untuk menaikkan proses hukum ke tahap yang lebih tegas. Penundaan penanganan dengan alasan menunggu pembuktian tambahan seperti tes DNA, menurutnya, berpotensi mengaburkan esensi perkara yang sejatinya adalah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, bukan sekadar persoalan pengakuan biologis.

“Dalam perspektif hukum progresif dan perlindungan anak, aparat penegak hukum wajib mengedepankan prinsip the best interest of the child. Artinya, setiap tindakan hukum harus diarahkan untuk memulihkan, melindungi, dan memberikan kepastian hukum bagi korban, bukan justru memperpanjang penderitaan psikologis korban akibat ketidakpastian proses,” tegas Iga.

Lebih lanjut ia menilai bahwa lambannya penanganan perkara ini dapat berdampak serius terhadap kondisi psikis korban, termasuk menghambat proses rehabilitasi, pendidikan, dan reintegrasi sosial korban ke masyarakat. Oleh karena itu, LBH Kapuas Raya Indonesia Ketapang mendorong agar penegak hukum segera mengambil langkah hukum yang tegas, transparan, dan akuntabel, serta memastikan seluruh hak korban anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan benar-benar terpenuhi.

“Negara tidak boleh kalah oleh birokrasi. Jika hukum kehilangan nurani dan keberpihakan pada korban anak, maka hukum itu sendiri gagal menjalankan fungsinya sebagai alat keadilan,” pungkasnya.

Red

Recommended For You

About the Author: ledaknews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *